Seleksi Di Ujung Jaman Transisi

Coba perhatikan di keseharian kita saat ini. Begitu banyak fenomena tidak masuk akal terjadi. Menyimak lalu lalang berita di berbagai media, setiap saat membuat bulu kuduk berdiri. Kabar datang dari berbagai belahan dunia yang membuat ngeri. Mulai dari berbagai bencana yang membawa ribuan korban jiwa, berita kriminalitas dan kejahatan kemanusiaan yang datang bertubi-tubi. Kasus-kasus pembunuhan dan pertumpahan darah yang tragis, kecelakaan maut, berita bunuh diri. Banyak pula kelakuan aneh dan tidak manusiawi dari orang-orang yang seolah tidak memiliki hati nurani. Mereka layaknya zombi yang tidak punya kesadaran diri.

Belum lagi menyimak kelakuan para oknum pejabat dan pemangku negeri. Yang tidak ubahnya para maling dan para kriminal berbaju rapi, berkedok gelar dan dasi. Di antara mereka banyak yang bertingkah polah aneh. Membuat aturan tidak masuk akal yang menyengsarakan rakyat, tapi mendapat dukungan dana besar dan ruang memadai dari negara. Para penegak hukum dan penjaga keamanan yang malah membuat keadaan negeri kacau balau. Mereka sendirilah penjahatnya yang menciptakan kondisi tidak aman dan serba mencekam.

Berapa banyak kasus kejahatan dan kriminalitas pelakunya adalah pejabat, petugas keamanan, pelayan masyarakat, penegak hukum dan mereka yang seharusnya bertugas menjadi pengayom, pelindung dan pamomong rakyat?

Ada apa dengan ini semua? Apa yang salah dengan dunia kita? Lalu apa yang harus kita lakukan? Mari kita merenung lebih dalam.

Kita Sedang Berada Di Ujung Jaman Transisi

Kita berada di persimpangan arus dan transisi jaman. Jaman berganti kita bingung menempatkan diri. Kita berhadapan dengan kegilaan jaman. Bahkan tidak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya bahwa perubahan demi perubahan itu semakin ngeri. Manusia berubah, alam berubah, semua keadaan berubah, alur waktu juga berubah, begitu cepat. Manusia mengklaim diri semakin maju dengan teknologi. Kasunyatan kita saksikan dengan semakin instan nya segala hal. Proses pekerjaan, makanan, pelayanan, transaksi kebutuhan. Semuanya instan. Manusia dimanjakan, oleh penemuan-penemuannya sendiri. Dengan bangga memberi label, inilah jaman modern yang paling kekinian.

Namun ada yang semakin tersingkirkan dari kehidupan manusia yang mereka sebut serba maju dan katanya sudah canggih. Itu adalah kesadaran. Kesadaran terhadap apa?

Segala yang serba instan semakin menjauhkan manusia dari kesadaran kemanusiaanya. Kesadaran yang bersumber dari eksistensi nurani, welas asih bawaan alami, tempat bersemayamnya Hidup yang menghidupi. Semua semakin sirna terpinggir dari setiap diri. Pikiran tersetting seolah seperti robot saja. Semakin lama semakin tidak sadar dan asing dengan dirinya sendiri. Yang menjadi perhatian hanyalah pemenuhan ego yang akhirnya semakin mengeraskan hati. Ajaran budi pekerti sudah jauh tersingkir di era kuno. Entah sudah berapa abad berlalu, hanya menjadi dongeng semu. Nyatanya generasi jaman ini nyaris tidak mengenal sama sekali.

Apa itu budi pekerti, apa itu moral, apa itu sopan santun, apalagi empan papan. Semua itu adalah barang asing yang membuat generasi kekinian plonga plongo. Ajaran-ajaran yang terproduksi hanyalah sebatas mencari keuntungan pragmatis, dengan cara instan dan secepat-cepatnya. Semua jalan menjadi halal, tidak peduli jikapun harus berubah menjadi zombi.

Kesadaran Berada Di Titik Nadir Terendah.

Itulah kondisi saat ini. Ruang kesadaran berubah menjadi pembuangan sampah energi. Berkumpul menjadi kolektif menyumbang parah kerusakan alam tempat bernaung seluruh kehidupan di bumi. Manusialah yang paling menentukan bumi menjadi tempat yang indah untuk ditinggali atau justru rusak parah dan menciptakan neraka yang menyengsarakan dirinya sendiri.

Baik alam kemanusiaan maupun alam lingkungan semua menganga ibarat bara api yang setiap saat siap untuk membakar diri manusia itu sendiri. Bom waktu yang pelan-pelan telah meledak satu demi satu dan menjadi realitas yang membuka mata kita semua. Bahwa manusia sibuk membangun peradabannya, dari generasi ke generasi. Tetapi kemudian juga pelan-pelan menghancurkannya untuk mengubur diri mereka sendiri.

Apa Yang Bisa Menyelamatkan Dirimu?

Orang-orang tua Jawa selalu berpesan “sak beja bejane wong kang lali isih luwih beja wong kang eling lan waspada”. Seberuntung beruntungnya orang yang lupa (tidak mawas diri) tetap lebih beruntung orang yang ingat (sadar) dan waspada. Sebuah pesan dengan makna yang begitu dalam.

Jadi penyelamat itu adalah kesadaranmu sendiri. Kembali ke kesadaran sejati diri manusiamu. Berpegang teguh kepada kejernihan hati, dan berlatih mendengarkan nurani. Bahwa sejatinya menjadi manusia itu bukan harus saling menghancurkan atau saling membunuh untuk bertahan hidup. Yang lebih penting adalah mendandani pola pikir dan mengendalikan gerak pikiran agar tidak menjadi liar.

Pikiran yang liar adalah awal dari hilangnya kesadaran. Pikiran bisa terasah menjadi pintar namun hanya menghasilkan intelektual. Tanpa kesadaran, intelektual akan berbahaya karena eksistensi ego akan semakin besar dan dominan. Hal inilah yang membuat pikiran semakin liar dan sulit terkendali. Banyak manusia melakukan hal-hal konyol dan tidak masuk akal, jahat dan tidak manusiawi karena menuruti pikiran yang liar, tanpa kesadaran.

Selalu eling artinya harus tetap sadar. Menjadi manusia yang terus menerus bisa menyadari peran kemanusiaanya, mendengarkan hati nuraninya, mengedepankan welas asihnya, bisa mengendalikan emosi, pikiran dan ego agar tidak liar dan membabi buta. Melatih diri untuk sering hening dan tenang agar tidak terus menerus menggebu-gebu.

Tetap waspada, artinya mewaspadai setiap gerak pikiran dan arahnya. Memegang kendali lewat kesadaran agar tidak lengah oleh bisikan ego dan nafsu sesaat yang serba terburu-buru dan biasanya menyesatkan. Waspada terhadap diri sendiri agar selalu tajam mendeteksi apapun yang kita terima setiap hari. Jangan mudah terpengaruh dan menimbulkan temperamen yang merugikan diri. Tetap tenang dan berpikir jernih. Lebih efektif lagi mendengarkan intuisi, ia adalah petunjuk yang benar tidak akan menyesatkan.

Itulah makna eling lan waspada. eling lan waspada dalam setiap nafas, dalam setiap gerak dan laku di kehidupan sehari-hari.

Seleksi di Ujung Jaman Transisi Penuh Serangan Energi negatif

Seandainya setiap kita mampu melihat dan merasakan, betapa gelap dan pekatnya “Langit” jaman perubahan. Energi semesta sedang berada di masa pergantian siklus baru. Kita sedang mengalami seleksi. Siklus jaman telah sampai pada garis masanya untuk segera mengalami pembaruan. Kita dituntut untuk mampu beradaptasi dengan senjata andalan “eling lan Waspada”. Menjaga kesadaran tetap stay di frekuensi tinggi, kesadaran lembut ilahi dan mewaspadai semua yang berpotensi “menyusup” dan membajak kesadaran kita. Sehingga ia bisa mengendalikan dan merubah kita menjadi seolah robot atau sekedar mayat hidup yang pada gilirannya akan membuat kerusakan untuk diri sendiri maupun kehidupan di lingkungan alam sekitar.

Pekatnya “Langit” jaman transisi penuh dengan awan hitam berenergi negatif. Mencari mangsa jiwa-jiwa yang tertidur lelap, tidak sadarkan diri atau bergetar di kesadaran rendah. Itulah jiwa-jiwa yang terkuasai ego. Nafsu ingin merusak dan “membunuh” eksistensi lain. Mereka adalah lahan basah sasaran daur ulang dari awan hitam yang negatif itu. Itu adalah keniscayaan sistem kerja alam. Maka tersebutlah seleksi alam. Kita berada di dalamnya, akankah kita mampu bertahan ?

Pada jaman transisi dari jaman energi lama yang penuh dengan jiwa-jiwa gelap berenergi rendah, kehidupan yang morat marit dan penuh kerusakan. Menuju perubahan ke jaman energi baru, eksis di sana jiwa-jiwa cahaya yang bergetar di frekuensi tinggi, penuh welas asih, jiwa pamomong, perawat dan pelestari sehingga kehidupan tercipta sesuai yang kita cita-citakan bersama. Tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi. Itulah jaman keemasan, era kejayaan yang menjadi mimpi semua orang.

Tetapi kita harus melewati seleksi, mampu bertahan di bawah naungan awan hitam “langit” perubahan. Agar tidak menjadi mangsa yang hanya menjadi bagian dari sampah daur ulang. Kemudian eksis menuju jaman keemasan. Syaratnya hanya dengan menjalankan ajaran luhur dari pendahulu kita, tetap “eling lan waspada”.

Seleksi Di Ujung Jaman Transisi

nunikcho.com; Desain Website oleh Cahaya TechDev-klubcahaya


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.