Salah satu penyebab bangsa Indonesia sulit untuk maju adalah mental inferior. Suka mengeluh, selalu ingin dikasihani, selalu mengedepankan rasa sungkan dan tidak enak hati, suka memposisikan diri sebagai korban keadaan. Di sisi lain suka memuja segala hal yang datang dari bangsa asing, dan tidak percaya diri dengan apa yang dimiliki bangsa sendiri. Itulah mental inferior.

Banyak fenomena yang terjadi di berbagai lingkungan kehidupan bangsa kita, di mana orang diberikan penghargaan atas dasar rasa kasihan, rasa sungkan karena sudah kenal dekat, karena jalur orang dalam. Seseorang dihargai bukan atas dasar kerja kerasnya, kemampuan dan skillnya, bukan karena prestasinya. Sangat tidak sportif.

Maka tidak heran jika di berbagai tempat dan keadaan banyak orang berebut ingin mendekat dan menjilat kepada si anu, si itu, orang populer, orang penting, karena berharap mendapat privilege sebagai “orang dalam”. Yang nantinya status orang dalam bisa ditukar dengan posisi nyaman, lahan basah untuk mendulang cuan.

Akhirnya di berbagai posisi strategis dan jabatan, banyak berisi individu-individu yang hampir “tidak bisa bekerja”. Tanpa profesionalitas, tanpa kejujuran, tanpa integritas.

Parahnya budaya para elit tidak bisa membedakan antara orang yang benar-benar bisa berkarya, bisa bekerja dengan keahlian mumpuni, dan mereka yang hanya sekedar tim hore, kaum cheerleaders yang biasanya memiliki pergerakan rubuh-rubuh gedhang.

Banyak bukti nyata generasi muda yang cerdas, berwawasan luas, punya karya luar biasa, yang memilih berkarier di luar negeri. Karena di sana mereka lebih dihargai, karyanya diapresiasi, digaji tinggi, ditempatkan sesuai porsinya sesuai kemampuan dan skillnya. Mereka memilih jadi perantau, kaum diaspora, tinggal di tempat di mana mereka dihargai.

Indonesia menyia-nyiakan mereka, tidak menyadari betapa penting kontribusi yang akan didapat untuk kemajuan bangsa jika memposisikan mereka di tempat yang strategis. Lebih memilih memberi jabatan kepada anak-anak dari keluarga sendiri, kenalan dekat, dan orang dalam. Meski mereka tidak punya prestasi sama sekali.

Hal ini menyakitkan, tapi itulah fakta dan realitanya. Indonesia tidak pernah kekurangan orang hebat, orang cerdas, atau orang berprestasi. Tapi sangat kekurangan orang jujur dan punya integritas tinggi.

Di lain sisi inferioritas itu terlihat dari berbagai bentuk pengidolaan dan pemujaan terhadap apa-apa yang datang dari bangsa asing. Produk luar negeri, penyanyi, lagu dan drama luar negeri. Kuliner luar negeri, gaya hidup orang luar negeri, tempat-tempat nongkrong dan wisata ala-ala luar negeri. Bangsa kita begitu menggandrungi semua yang berbau luar negeri.

Bangsa kita suka menistakan produk, budaya dan tradisi bangsa sendiri. Padahal orang-orang asing datang ke negeri kita karena mereka memuja produk bangsa kita. Tempat wisatanya, keindahan alamnya, kulinernya, hospitalitynya, produk budayanya, hal-hal unik yang kita miliki yang mereka tidak dapatkan di negerinya. Karena hanya kita yang punya.

Sungguh luar biasa terbalik

Bangsa kita terkenal dengan sikap ramah dan sopan santunnya, sangat open dan welcome dengan semua “tamu” yang datang. Sampai kebablasan memuja dan menghamba pada para tamu dan melupakan jatidirinya.

Tetapi lihatlah di kolom-kolom komentar social media. Betapa galak dan kejam cara bertutur bahasanya. Debat kusir, ujaran kebencian, kalimat-kalimat bullyan dan hinaan yang sangat pahit untuk dibaca, sangat sakit didengar telinga semua terpampang nyata di hadapan kita. Lalu di mana letak keramahannya?

Dengan para turis saja bersikap ramah-ramah, dengan bangsa sendiri suka bertengkar, menghujat dan berkata kasar jika berselisih paham dan berbeda kepentingan. Ramah yang mereka suguhkan kepada bangsa asing itu hanya drama, untuk menutupi mental inferiority nya, kejumudannya, dan perasaan rendah diri nya.

Yang asli mungkin yang keluar lewat social media itu. Yang asli galak, ngamukan, tidak ada kesopanan, minim berbudi pekerti. Di dunia nyata tidak berani menghujat berhadapan langsung, karena sungkan, karena tidak enak hanya nggerundel di hati, tapi di belakang ngedumel. Ketika menemukan media yang cocok, bisa bersembunyi di balik akun bodong, keluar semualah karakter aslinya. Seperti di kolom komentar X dan Instagram.

Begitulah mental inferior itu terus dibangun dan dilestarikan bergenerasi-generasi. Banyak orang tetap menikmati zona nyaman inferiority.

Banyak orang yang tidak mau membuka pikiran untuk lebih cerdas, dan punya nyali menghadapi kenyataan. Mengupgrade wawasan dan terus belajar memperbarui ilmu pengetahuan. Mengupdate pola pikir sesuai perkembangan jaman, meningkatkan skill, dan mengasah rasa percaya diri. Agar menemukan prinsip hidup berdasarkan persamaan derajat, penghargaan terhadap prestasi dan kerja keras, sportivitas dan integritas.

Mental Inferior

Simak tulisan saya yang lain di nunikcho.com


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.